Sekali lagi September Hitam, Rempang mencekam.
Pulau Rempang tempat mencari nafkah dan kelangsungan hidup itu kini terguncang atas keinginan semata dengan dalih pembangunan. Sampai mengorbankan kemanusiaan, aparat dengan congkaknya melakukan tindakan represif hingga penembakan gas air mata kepada masyarakat yang seharusnya dilindungi. Tak hanya dari segi fisik yang terluka dari segi psikis pun masyarakat setempat harus terpukul ketika melihat pulau tempat ia dibesarkan harus dikuasi oleh proyek dan investor asing.
Pulau Rempang yang terletak di kota Batam baru baru ini mencekam, hal tersebut disebabkan oleh aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, TNI dan polisi berbondong-bondong berdatangan untuk melakukan pemasangan patok dan pengukuran lahan yang rencananya nanti akan dibangun proyek Rempang Eco City atau pembangunan ekonomi baru dengan konsep "Green and Sustainable City." Rempang Eco City merupakan proyek kawasan ekonomi baru di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Rencana pembangunan proyek ini pertama kali muncul pada 2004 silam. Di awal perencanaannya, pemerintah saat itu melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemko Batam, berkolaborasi dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) dalam sebuah perjanjian untuk mega proyek ambisius ini. Saat ini, proyek Rempang Eco City masuk dalam Proyek Strategis Nasional Tahun 2023 yang termaktub dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenko RI No. 7 Tahun 2021 terkait Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Pulau Galang sudah ratusan tahun menjadi ladang bertahan hidup masyarakat Rempang. Ditinjau dari segi ekonomi, masyarakat Rempang banyak mengalami kerugian. Proyek strategis nasional Rempang Eco-city berpotensi menggusur 16 kampung adat melayu, dimana secara otomatis akan merampas segala mata pencaharian masyarakat rempang.
Walaupun masyarakat dijanjikan dengan rumah susun dan ratusan juta sebagai biaya ganti rugi perampasan tanah mereka, masyarakat Rempang dipaksa untuk beradaptasi dan mencari sumber penghidupan yang baru, karena tak ada jaminan apapun dari pemerintah dan PT MEG akan memanfaatkan masyarakat yang tergusur sebagai prioritas tenaga kerja di Rempang Eco-city yang diproyeksikan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja. Selain itu, Rempang juga menjadi wilayah yang berkontribusi besar pada masyarakat Batam di wilayah peternakan dan pertanian, dua potensi tersebut akan menjadi korban dari ambisius proyek strategis nasional tersebut.
Menurut hemat penulis, proyek ambisius yang ditujukan untuk percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi jika dilakukan dengan cara merampas UMKM, petani, peternak dan nelayan agar tercipta ruang pembiakan modal baru bagi investor merupakan kebijakan cabang baru Kapitalisme.
Aspek budaya kemasyarakatan juga terbangun dengan kental, mengingat masyarakat sudah menempati pulau tersebut puluhan hingga ratusan tahun. Disebut sebagai orang darat atau orang oetan (hutan) dan beberapa tahun kemudian memasuki budaya Melayu, sudah pasti memiliki banyak monumen dan peninggalan sejarah, Kini budaya dan kebiasaan masyarakat harus dilenyapkan, bukan lagi menyoal proyek yang ambisius melainkan budaya asli warga lokal yang seharusnya dilestarikan dan dijaga itu kini harus tergerus akibat keinginan keras investor asing. Sudah banyak hal yang terjadi sehingga masyarakat mau tidak mau harus mengungsi atau memilih merantau meninggalkan kampung halaman sendiri. Ketenangan hidup yang mereka jalani selama hari hari harus terusik kembali, persoalan budaya dan adat istiadat sangatlah mahal harganya, ketika masyarakat dipaksa untuk menempati lahan baru yang proyek pembangunnya juga masih ambigu, disitulah rasa kekecewaan atas kerja kerja pemerintah mulai membelenggu. Cagar budaya di Pulau Rempang merupakan bukti sejarah keberadaan masyarakat Melayu di Pulau Rempang. Cagar budaya tersebut perlu dilestarikan agar dapat menjadi warisan bagi generasi mendatang. Dilansir dari situs resmi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Pulau Rempang telah dipilih sebagai salah satu kawasan perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berdasarkan keadaan populasinya. Ada banyak potensi dari SDA Pulau Rempang, mulai dari flora, fauna, ekosistem, hingga objek wisata.
Dari beberapa proyek tersebut perlu kiranya pemerintah memikirkan secara maksimal, dampak keberlanjutan bagi masyarakat setempat bagaimana, atau lebih baik diberhentikan saja. Banyak yang harus di evaluasi melalui proyek strategis nasional ini, mulai dari hak asasi manusia, hak keadilan, hak atas tanah dan momok pemerintah bagi kelangsungan hidup masyarakat, meskipun pembangunan proyek tersebut atas dalih tunggal investasi dan ekonomi, tidak harus merampas budaya dan mengusik ketenangan hidup masyarakat yang selama ini berlangsung.
Lanjut lagi, dalam proyek strategis nasional perlu kiranya pemerintah juga mengevaluasi dan melibatkan pegiat konservasi alam, kaum terpelajar atau akademisi dan ketua suku adat setempat untuk membahas lebih mendalam mengenai adanya proyek tersebut benar berdampak terhadap perekonomian masyarakat atau ekonomi yang mana, bukan malah melanggar dan mengesampingkan kepentingan hak atas kemanusiaan dan pribumi yang sudah puluhan tahun menempati nya.
Kemudian untuk para aparat keamanan baik TNI maupun POLRI jika pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat selalu seperti itu, bertindak represif dan bahkan menggunakan alat alat keamanan negara untuk melawan masyarakat sendiri, justru akan menjadi momok buruk berkepanjangan. Kita lihat saja, kasus Kanjuruhan, Wadas, hingga Pakel akibat dari tindakan tersebut banyak masyarakat mengalami cidera dan bahkan luka-luka tak hanya gangguan fisik gangguan psikis pun mereka dapati, hal itu justru kontras dengan kewajiban nya yang harus melindungi masyarakat justru sebaliknya melindungi para investor yang jelas akan mengekploitasi dan merusak bumi Pertiwi. Alangkah lebih baiknya bilamana pendekatan pendekatan itu dirubah dengan metode persuasif kekeluargaan sebagaimana tupoksi yang katanya melindungi warganya.
Penulis: Rofiqi
Komentar
Posting Komentar