Sejarah Hari Raya Galungan dan Maknanya Bagi Umat Hindu & Bali


Sejarah Hari Raya Galungan dan Maknanya Bagi Umat Hindu & Bali
Sejarah Hari Raya Galungan memiliki mitologi dan kearifan lokal bagi masyarakat Hindu di Bali. Berikut ini makna dan penjelasannya.
   
Sejarah Hari Raya Galungan erat kaitannya dengan mitologi Hindu-Bali. Pertama kali dirayakan pada 882 Masehi, ritual ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Perayaan Galungan kembali diadakan pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu.

Hari Raya Galungan diperingati setiap 6 bulan sekali dalam penanggalan Bali. Sejarah dan prosesi hari raya ini sangat bermakna bagi masyarakat Hindu di Pulau Dewata.

Dalam kalender Bali, satu bulan terdiri dari 35 hari. Galungan jatuh pada Rabu Kliwon. Istilah khusus untuk menyebut hari itu adalah Budha Kliwon Dungulan atau hari Rabu Kliwon dengan wuku Dungulan, yang bermakna: hari kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan).

Fred B. Eiseman Jr. dalam Bali Sekala and Niskala: Essays on Religion, Ritual and Art (1989) mengungkapkan bahwa Galungan menandai awal dari upacara keagamaan yang paling penting. Rakyat Bali percaya bahwa roh para leluhur akan pulang ke rumah di hari itu, dan menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyambutnya dengan doa dan persembahan.

Rangkaian prosesi ritual mewarnai perayaan Galungan. Warga Bali yang mayoritas beragama Hindu selalu antusias dan khusyuk menjalankannya. Perayaan Galungan juga menarik minat wisatawan, baik domestik maupun asing, yang sedang berkunjung ke pulau yang menjadi salah satu destinasi wisata terbaik dunia itu.


Sejarah Galungan
Sejarah Hari Raya Galungan terkait erat dengan mitologi Hindu-Bali. Dikutip dari situs resmi Desa Sangeh yang selaras dengan catatan dalam naskah Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15, tahun Saka 804 atau 882 Masehi.

Namun, ritual perayaan ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Akibatnya, raja-raja yang berkuasa di Bali kala itu banyak yang wafat dalam usia muda. Selain itu, Pulau Dewata juga terus-menerus diguncang berbagai bencana, demikian dikisahkan dalam Lontar Sri Jayakasunu.

Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan diadakan kembali. Awalnya, sang raja heran mengapa raja-raja sebelumnya berumur pendek dan Bali sering dilanda musibah.

Raja Sri Jayakasunu pun bersemedi. Dalam pertapaannya, ia mendapat bisikan yang dipercaya berasal dari Dewi Durga. Dari wangsit itu, terkuak alasan mengenai berbagai keanehan yang terjadi selama ini, yaitu karena rakyat Bali sudah melupakan peringatan Galungan.

Atas perintah Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan kembali dihidupkan, dan terus diadakan secara turun-temurun hingga saat ini. Meskipun bagi sebagian orang sejarah Hari Raya Galungan barangkali dianggap kurang bisa dilogika, umat rakyat Hindu-Bali sangat mempercayainya.

Infografik SC Hari Raya Galungan
Mitologi Galungan
Ada kisah berbalut mitos yang dipercaya oleh umat Hindu-Bali tentang awal mula perayaan Galungan. Tulisan I Gede Marayana yang terhimpun dalam buku Galungan Naramangsa (2005) memaparkan mengenai mitos ini.

Secara mitologi, tulis Marayana, dahulu di Bali ada seorang raja angkara murka bernama Mayadenawa. Raja yang sangat sakti ini kerap berbuat adharma atau kejahatan. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa tak hanya menguasai Bali, tapi juga Pulau Lombok, Blambangan (Banyuwangi), bahkan hingga tanah Bugis (sebagian Sulawesi).

Perang Habis-habisan di Blambangan
Lantaran merasa paling sakti, Mayadenawa memerintahkan rakyatnya untuk menyembah dirinya. Dewa-dewa dilarang disembah, bahkan banyak pura dan tempat peribadatan yang dihancurkan atas perintah raja lalim itu.

Kelakukan Mayadenawa yang sudah melampaui batas membuat rakyat resah. Hingga akhirnya, seorang pemuka agama yang juga Pemangku Agung Pura Besakih bernama Mpu Sangkul Putih bersemedi untuk memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Mpu Sangkul Putih akhirnya mendapat ilham. Ia diberi petunjuk agar pergi ke Jawa Dwipa atau India untuk meminta bantuan. Mpu Sangkul Putih melaksanakan wangsit yang didapatnya itu, dan akhirnya mendapat bantuan. Menurut mitologinya, bantuan itu diberikan oleh Dewa Indra, dewa yang menguasai cuaca.

Singkat cerita, terjadilah pertempuran hebat antara kubu Mayadenawa dan pasukan milik Dewa Indra. Pasukan pimpinan Mayadenawa kewalahan. Raja yang kejam itu beberapa kali melakukan tindakan licik. Namun, tetap saja Mayadenawa kalah.

Mitologi inilah yang menjadi dasar peringatan Hari Raya Galungan, bahwa dharma atau kebaikan akan mampu mengalahkan adharma alias kejahatan.

Filosofi Galungan
Seperti yang digambarkan dalam mitologinya, Hari Raya Galungan dirayakan untuk memperingati kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa atau kebaikan melawan kejahatan.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat –majelis organisasi umat Hindu Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan dan sosial– melalui website resminya menjelaskan, inti dari Galungan sebenarnya adalah bahwa manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang bisa mengganggu ketenteraman batin dan kehidupan.

Hawa nafsu manusia tersebut dibagi menjadi tiga kala, yang pertama adalah Kala Amangkurat, Kala Dungulan, dan Kala Galungan.
Kala Amangkurat adalah nafsu ingin berkuasa yang berujung pada keserakahan, ingin memerintah, dan ingin mempertahankan kekuasaan kendati menyimpang. Kala Dungulan yaitu nafsu ingin merebut semua yang dimiliki orang lain. Sedangkan Kala Galungan adalah nafsu menang dengan menghalalkan segala cara. Selain itu, perayaan Galungan juga mengandung makna sebagai ungkapan rasa syukur umat Hindu kepada atas segala karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Ucapan Hari Raya Galungan
Untuk merayakan Hari Raya Galungan, terdapat beberapa ucapan yang bisa Anda sampaikan pada umat Hindu di Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Rajaheng rahina Galungan lan Kuningan biasanya diucapkan kepada umat Hindu di hari besar ini.

Arti dari rajaheng nyanggra rahina Galungan lan Kuningan adalah: selamat menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Berikut beberapa contoh ucapan selamat Hari Raya Galungan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali:

1. Rahajeng Nyangre Rahina Galungan - Kuningan.

2. Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung Kertha Wara Nugraha kepada kita sekalian dalam pengabdian kita sesuai dengan swadharma masing-masing.

3. Selamat Hari Raya Galungan & Kuningan. Teruslah bekerja di jalan dharma.

4. Selamat Hari Raya Galungan & Kuningan. Mari merayakan kemenangan dharma melawan adharma dengan kedamaian.

5. Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Semoga kita selalu berada dalam lindungan Ida Swangh yang Widhi Wara.

6. Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan. Dumogi sareng sami manggih kerahayuan.

7. Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan. Mari ciptakan Dharma di hati demi tercapainya kedamaian dalam diri.

Sumber : Tirto.id
Penulis: Tim redaksi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GAWAT DARURAT : IDEALISME MAHASISWA TERGONCANG

Seminar Nasional dan Dies Natalis HIMADITA Ke-8, Ketua Umum Harapkan Keharmonisan Dalam Organisasi.

Gelar Acara Pembukaan Momen Relationship Himadita 2024, Tekankan Loyalitas, Profesionalisme, dan Kekeluargaan